Headline, Gema Sumatra – Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Mereka di tuduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama konflik di Gaza.
ICC menyatakan bahwa Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas penggunaan kelaparan sebagai senjata perang.
Mereka juga di anggap bertanggung jawab atas pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya.
Kejahatan ini, menurut ICC, terjadi antara Oktober 2023 hingga Mei 2024, selama eskalasi kekerasan di Gaza.
Konflik tersebut menyebabkan lebih dari 44.000 warga Palestina tewas dan 104.000 lainnya terluka, mayoritas di antaranya adalah wanita dan anak-anak.
Langkah ICC ini menuai beragam tanggapan. Di Israel, sejumlah politisi menolak keras keputusan tersebut.
Gideon Sa’ar, mantan menteri dan pemimpin partai oposisi, menyebut langkah ini sebagai bentuk “kehancuran moral” lembaga internasional.
“Ini adalah serangan langsung terhadap hak dasar Israel untuk mempertahankan diri dari ancaman eksistensial,” ujarnya.
Di sisi lain, kritik juga diarahkan pada Netanyahu, dengan sejumlah pihak menilai kebijakannya sebagai penyebab isolasi diplomatik Israel yang semakin parah.
Seorang analis dari The Times of Israel menyebutkan bahwa keputusan ini mencerminkan “konsekuensi dari kegagalan strategi Netanyahu selama konflik.”
Menurut Profesor Hukum Internasional di Universitas Leiden, keputusan ICC mencerminkan peningkatan upaya untuk menegakkan akuntabilitas atas pelanggaran berat hukum humaniter internasional.
“ICC memiliki yurisdiksi atas negara-negara yang menjadi anggota Statuta Roma, yang berarti Netanyahu dapat di tangkap jika memasuki salah satu dari 124 negara anggota. Ini adalah sinyal kuat bahwa kejahatan perang tidak bisa di biarkan begitu saja,” jelasnya.
Namun, para pendukung Israel menganggap keputusan ini bias dan antisemitik. “Mengklasifikasikan tindakan Israel setara dengan kejahatan perang adalah upaya untuk merusak kredibilitas negara yang paling terancam di dunia,” kata seorang pejabat senior pemerintah Israel.
Sementara itu, para pengamat internasional menilai keputusan ini sebagai tonggak penting dalam memperjuangkan keadilan bagi korban konflik Gaza.
Amnesty International dalam pernyataannya menyebut langkah ICC sebagai “pilar penegakan hukum internasional” yang harus di hormati.
Sebuah laporan Reuters menambahkan bahwa keputusan ini juga menempatkan negara-negara anggota Statuta Roma dalam posisi sulit.
Mereka di wajibkan menangkap Netanyahu jika ia mengunjungi wilayah mereka.
Situasi ini memperburuk isolasi diplomatik Israel dan menambah tantangan bagi pemerintahannya.
Langkah ICC ini menegaskan bahwa tidak ada pemimpin yang kebal hukum atas kejahatan serius, meski masih banyak kontroversi terkait yurisdiksi dan penerapannya.
Netanyahu, yang terus menyangkal tuduhan ini, menghadapi tekanan yang semakin besar baik di tingkat domestik maupun internasional.
Dengan perkembangan ini, langkah Netanyahu untuk bertahan sebagai pemimpin Israel semakin di periksa oleh dunia.
Ikuti Update Berita Terkini Gema Sumatra di: Google News